Senin, 11 Agustus 2014

jalan menyempit, langit pagi memilin daun-daun bakau
seperti kaupilin rambutmu sebelum terurai oleh angin
ini bukan jalan setapak kerna beribu jejak menyisakan hidup kemarin
rawa-rawa melebar di kiri kanan, sungai menjalar dari laut
“tak ada kabut, cuaca menggulung tambak oleh warna lumpur”
perahu diterkam senyap dermaga
menanti pejalan tiba dari semua penjuru
air pasang ngirimkan sampah organik ke hulu
busuk oleh waktu
di rawa-rawa ini air payau mengalir tanpa kecipak
hutan tumbuh di atasnya
hidup selalu tawar dan asin
prisma nebarkan banyak warna
pohon, cabang, sulur akar, daun menjelaga tanah
terbentur-bentur  ombak gelisah
di daratan katulistiwa, guyuran panas tropika
lumpur mengendap di rawa-rawa
melahirkan akar-akar ke udara
rindu oleh jarak, oleh waktu
menguapkan kristal kata-kata
ke dalam sajak legam
sungguh, air tak mengalir memang
hanya akar selalu nemukan cara
menemu udara dan cahaya
sungguh aku tak mengenali burung-burung itu
hanya cericitnya mendaraskan melodi senyap
petikan gitar yang nyaris tanpa nada
mereka terbang berkelompok-kelompok
dari permadani rumput menyerbu dahan-dahan bakau
dari sepi ke sunyi sebelum tiba di kemah abadi
“tak ada salahnya belajar dari kepak sederhana
tak ada salahnya berkaca pada jelaga rawa-rawa”
ketika tubuh diguyur asin lautan, siapa bisa bertahan
terkoyak kita oleh perih pisau, walau tanpa nganga luka
kangen yang menyengat menimbulkan bilur pada jantung
dari bilik ke bilik kita pun berlari mencari aorta jalan bersua
daun-daun bakau perkasa dalam gelombang dan garam
penampangnya menyajikan perisai kelenjar yang perkasa
“seperti gerak angin, pintu mana bisa menghadangnya”
jejak ini basah memang
lalu kita gambar hati di ceruk lumpurnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar